Catatan Muslim China Tentang Pesisir Utara Jawa Tahun 1413-1415 M
Banyak versi cerita tentang sejak kapan Islam tiba di Pulau Jawa. Ada versi cerita yang mengatakan bahwa Islam sudah sampai Pulau Jawa sejak abad ke-7, ada juga yang berpendapat sejak abad ke-9, dan versi cerita lain-lainnya.
Namun, berdasarkan penjelasan M.C. Ricklefs dalam bukunya Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries yang dipublikasikan Eastbridge pada tahun 2006. Dikatakan bahwa tidak ada masyarakat Jawa yang berbondong-bondong memeluk agama Islam sebelum awal abad ke-16. Meski sejauh bukti-bukti yang ada, Islam telah hadir di Jawa sebelum abad ke-16 tapi tidak masif perkembangannya.
Ricklefs dalam bukunya menjelaskan, Muslim Cina bernama Ma Huan pertama kali mengunjungi pesisir utara Pulau Jawa sekitar tahun 1413-1415 Masehi. Ma Huan adalah anggota Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming yang melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah. Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa lagi pada tahun 1432 Masehi.
Buku yang ditulis Ma Huan berjudul Yingyai Shenglan pertama kali diterbitkan tahun 1451 Masehi. Tapi yang ada sekarang tinggal buku Ma Huan versi terbarunya, sehingga kemungkinan ada pengurangan atau penambahan pada isinya.
Yingyai Shenglan adalah catatan perjalanan yang ditulis oleh Ma Huan. Buku ini menceritakan tentang sejumlah negara, laut dan pantai yang dikunjungi Ma Huan. Sebagaimana diketahui, Ma Huan adalah orang yang ikut serta dalam ekspedisi pelayaran Laksamana Cheng Ho.
Penjelasan Ma Huan tentang Jawa sekitar 40 tahun sampai 60 tahun setelah keberadaan batu nisan Muslim di Trowulan dan Tralaya, di ibu kota Kerajaan Majapahit. Tapi berdasarkan catatan Ma Huan, dia tidak menemukan Muslim Jawa di pesisir utara Pulau Jawa.
Baca juga: Jejak Bangsawan Muslim di Era Kerajaan Majapahit
"Negara ini terdiri dari tiga kelas orang," kata Ma Huan dalam catatannya yang berjudul Yingyai Shenglan. Mungkin yang dimaksud negara olehnya merujuk ke pesisir utara Pulau Jawa.
Dalam cacatannya, Ma Huan menjelaskan, pertama, adalah orang Muslim dari wilayah Barat atau Jazirah Arab dan sekitarnya, mereka berimigrasi ke Jawa. Mereka berdagang, pakaiannya bersih, makanannya bersih dan layak.
Kedua, ada orang China, mereka berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou serta tempat-tempat lainnya. Mereka melarikan diri dari tempat asalnya dan tinggal di Jawa. Makanan mereka bersih dan banyak di antara mereka yang memeluk agama Islam. Mereka juga melaksanakan ibadah puasa.
Ketiga, ada orang-orang berwajah seram dan aneh. Mereka tidak mengenakan alas kaki dan makanannya sangat kotor. Semut, ular, serangga dan cacing pun dimakan mereka. Bahkan mereka makan di tempat yang sama dengan anjing peliharaannya.
Ricklefs dalam bukunya mengatakan, orang-orang seram dan jorok yang digambarkan Ma Huan tentu bertolak belakang dengan sumber-sumber sejarah lain. Sumber sejarah lain banyak yang mengatakan peradaban Jawa-Hindu sangat maju.
Ricklefs menegaskan, maka orang-orang seram dan jorok yang diduga pribumi oleh Ma Huan besar kemungkinan bukan masyarakat Jawa asli. Menurut Ricklefs, besar kemungkinan mereka adalah Suku Kalang yang diasingkan di Pulau Jawa karena memiliki kebiasaan, kebudayaan dan kepercayaan yang berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya.
Pandangan Ricklefs Soal Muslim di Pesisir Utara
Ricklefs juga berpendapat, sangat mungkin Muslim yang dijumpai dan diamati Ma Huan di daerah pesisir utara Pulau Jawa mengenakan pakaian dan berperilaku seperti Muslim asing dari Barat, Arab dan Cina. Sehingga Ma Huan tidak bisa membedakan antara orang Jawa Muslim dan Muslim pendatang.
Menurut Ricklefs, mungkin menjadi orang Jawa sekaligus menjadi Muslim bukan identitas yang diakui pada awal abad ke-15. Tapi bangsawan Jawa di istana Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 dapat menjadi orang Jawa Muslim atau beragama Islam. Buktinya batu nisan di pemakaman Trowulan dan Tralaya.
Baca juga: Rumah Peninggalan Nenek Moyang Berteknologi Anti Gempa
Ricklefs menerangkan dalam bukunya, jika benar yang dilaporkan Ma Huan dalam catatannya tentang bandar-bandar atau kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa. Artinya kota-kota pelabuhan tersebut sudah kosmopolitan, banyak orang dari berbagai daerah di belahan dunia singgah dan menetap di sana.
Selanjutnya, menurut Ricklefs, perkembangan Islam awal abad ke-17 di Pulau Jawa akan banyak berkaitan dengan pesisir utara Jawa. Hal ini karena perkembangan perdagangan internasional semakin pesat di Laut Jawa. Sebab semakin meningkat permintaan rempah-rempah dari Nusantara. Kondisi ini membuat sejumlah bandar-bandar di pesisir utara Jawa menjadi kota kosmopolitan.
Baca juga: Filosofi Semar dan Kisah Umar bin Khattab