Jejak Bangsawan Muslim di Era Kerajaan Majapahit
Siapa yang tidak kenal Kerajaan Majapahit yang berbasis di Jawa Timur, konon ia adalah kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara. Kerajaan ini diceritakan dalam manuskrip-manuskrip kuno memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas dari Semenanjung Melaka hingga Indonesia timur. Tapi masih diperdebatkan tentang benar dan tidaknya Majapahit memiliki wilayah kekuasaan seluas itu.
Sebagai kerajaan Hindu-Buddha, tentu banyak masyarakat Kerajaan Majapahit memeluk agama Hindu dan Buddha. Tapi ditemukan bukti-bukti sejarah yang mengindikasikan sudah ada elit masyarakat atau bangsawan Majapahit yang memeluk agama Islam pada awal abad ke-14 Masehi.
Hal ini dijelaskan M.C. Ricklefs dalam bukunya Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries yang dipublikasikan Eastbridge pada tahun 2006.
Menurut Ricklefs dalam bukunya, bukti paling tua yang menunjukan adanya orang Jawa yang telah memeluk Islam adalah batu nisan di pemakaman Trowulan dan Tralaya di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pemakaman tersebut letaknya di ibu kota Kerajaan Majapahit.
Baca juga: Filosofi Semar dan Kisah Umar bin Khattab
Di pemakaman Trowulan terdapat batu nisan tua milik seorang Muslim, pada nisannya tertulis tahun 1290 Saka atau 1368 Masehi. Selain itu masih banyak batu nisan milik Muslim lainnya di sana.
Batu nisan tersebut bisa menjadi bukti bahwa bangsawan Jawa mengakomodasi masyarakat yang memeluk agama Islam pada masa itu. Meski masa itu Kerajaan Majapahit yang menganut agama Hindu-Buddha sedang berada di puncak kejayaannya.
Maharaja Sri Rajasanagara yang dikenal dengan sebutan Raja Hayam Wuruk berkuasa di Kerajaan Majapahit pada tahun 1350-1389 Masehi. Di bawah kekuasaannya konon Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Ricklefs menjelaskan bahwa batu-batu nisan Muslim di pemakaman Trowulan dan Tralaya yang terletak di ibu kota Kerajaan Majapahit benar-benar milik Muslim. Tapi batu-batu nisan tersebut memiliki desain yang khas. Tahun pada nisan tersebut menggunakan penanggalan Saka yang berasal dari India dan diadopsi di Jawa. Nisan tersebut tidak menggunakan penanggalan Hijriyah.
Menurutnya, tulisan Arab pada beberapa batu nisan di pemakaman itu kemungkinan menandai tempat peristirahatan terakhir orang-orang Jawa asli yang memeluk agama Islam. Ricklefs menduga, karena nisan ini menggunakan penanggalan Saka, jadi besar kemungkinan yang dikubur di pemakaman ini bukan Muslim dari luar Jawa.
Pada beberapa batu nisan Muslim di pemakaman ini juga ditemukan lambang Matahari Majapahit. Ricklefs menduga, lambang ini kemungkinan besar menunjukan bahwa yang dikubur adalah anggota keluarga Kerajaan Majapahit atau Bangsawan Majapahit.
Baca juga: Mengkaji Makna Spiritual Pada Tokoh Semar Dalam Wayang
Batu nisan di pemakaman Tralaya yang paling tua bertanggal 1298 Saka atau 1376 Masehi. Pada nisan ini di sisinya terdapat tulisan angka Jawa kuno, dan pada sisi lainnya ada tulisan berbahasa Arab. Batu nisan lainnya di Tralaya bertanggal 1397 Saka atau 1475 Masehi, di antaranya ada nisan yang dihiasi dengan lambang Matahari Majapahit.
Syair Nagarakretagama
Namun, ada syair Nagarakretagama yang sangat berusaha menggambarkan peran serta kontribusi Hindu dan Buddha di Kerajaan Majapahit. Dalam syair karya Empu Prapanca ini tidak mengandung informasi tentang keberadaan Muslim di lingkungan Istana Majapahit.
Jika dalam naskah yang ditulis Empu Prapanca diceritakan adanya Muslim Jawa yang dimakamkan di ibu kota Kerajaan Majapahit, tentu akan sangat mudah meyakini keberadaan Muslim Jawa pada masa itu. Sebab Empu Prapanca tidak mungkin tidak tahu adanya Muslim dari kalangan bangsawan di Kerajaan Majapahit.
Namun, ada juga kemungkinan Empu Prapanca menghilangkan cerita tentang kehadiran Islam dan keberadaan Muslim di Kerajaan Majapahit. Tentunya Empu Prapanca mempunyai beberapa pertimbangan terkait ini.
Baca juga: Rumah Peninggalan Nenek Moyang Berteknologi Anti Gempa
Ricklefs menegaskan batu-batu nisan di Trowulan dan Tralaya menggambarkan bahwa tidak ada konflik antara identitas Jawa dan Islam pada masa itu. Tapi tidak perlu berusaha untuk mendamaikan pertentangan antara bukti-bukti yang ada. Sebab dari bukti yang ada (batu nisan Muslim) menunjukan bahwa ada bangsawan Jawa memeluk agama Islam. Tapi seorang penulis dan pengikut ajaran Buddha di Kerajaan Majapahit (yakni Empu Prapanca) menolak untuk mengakui Muslim masuk dalam gambaran masyarakat Jawa yang ideal (dalam karyanya Nagarakretagama).