Rumah Peninggalan Nenek Moyang Berteknologi Anti Gempa
Pulau Jawa memiliki banyak gunung api, dari sebelah barat hingga ujung timur berjejer gunung-gunung api. Bahkan sampai saat ini masih banyak gunung-gunung api tersebut yang aktif.
Terbentuknya gunung-gunung api di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali akibat tabrakan antara lempeng Australia (dari sebelah selatan) dengan lempeng Eurasia (dari sebelah utara). Tabrakan kedua lempeng tersebut tepat berada di sebelah selatan Pulau Jawa.
Akibat tabrakan antara lempeng Australia dan Eurasia membentuk palung laut di sebelah selatan, dan membentuk gunung api di sebelah utaranya. Lempeng Australia bergeser ke utara dan menabrak lempeng Eurasia yang bergeser ke selatan. Lempeng Australia masuk ke dalam dan lempeng Eurasia terangkat ke atas.
Kondisi alam seperti ini membuat Pulau Jawa rawan gempa bumi, akibat tabrakan atau gesekan antar lempeng, dan akibat aktivitas gunung berapi yang disebut gempa vulkanik. Hal ini dijelaskan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung dalam sebuah wawancara dengan Republika, 2016.
Ternyata nenek moyang di Pulau Jawa sejak dulu sudah menciptakan teknologi rumah anti gempa bumi dan ramah lingkungan. Meski teknologi pada saat itu belum maju, mereka sudah menyadari posisi, situasi dan kondisi alam di sekitarnya. Mereka bisa membaca alam dan menyesuaikan diri dengannya, bisa dikatakan mereka bisa hidup berdampingan dengan alam dengan cara yang harmonis.
Masyarakat Adat Kampung Kuta di Ciamis
Rumah berteknologi anti gempa masih bisa dilihat di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Letak kampung ini berada di lembah dan di tepi Sungai Cijolang. Sungai Cijolang sendiri merupakan batas antara Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng).
Baca juga:
Filosofi Semar dan Kisah Umar bin Khattab
Di sebelah utara Kampung Kuta membentang tebing sepanjang 6,5 km yang mengelilingi kampung ke arah barat dan timur. Ketinggian tebing sekitar 750 meter. Tebing yang membentang ke barat dan timur berakhir di Sungai Cijolang.
Masyarakat Kampung Kuta sangat patuh pada keyakinan mereka. Seluruh masyarakat Kampung Kuta membangun rumah adat berupa rumah panggung beratapkan daun ijuk dan kirai.
Dalam penjelasan Wakil Ketua Adat sekaligus sesepuh Kampung Kuta, Aki Warja (67 tahun) pada tahun 2016. Dijelaskan bahwa cara membangun rumah di Kampung Kuta harus sesuai amanah karuhun atau nenek moyang.
Ketentuan utamanya harus rumah panggung, harus persegi panjang, harus dua pasang dengan rumah tetangga atau saudara, dan jangan menggunakan bahan baku seperti semen, paku besi serta bahan lainnya buatan manusia yang tidak lagi alami.
Rumah panggung ditopang menggunakan batu berukuran persegi panjang. Ukuran batu tersebut panjangnya 50 cm dan lebarnya 20 cm. Batu persegi dengan panjang 50 cm hanya ditanam ke dalam tanah sedalam 10 cm saja.
"Maksudnya agar ketika ada gempa bumi, batu yang menjadi penopang rumah tersebut bergerak menyesuaikan diri sesuai guncangan tanah disekitarnya," kata Aki Warja.
Dengan teknologi ini, rumah panggung berada di atas batu-batu persegi panjang yang ditanam ke dalam tanah sedalam 10 cm. Ketika gempa bumi yang cukup besar terjadi, rumah hanya bergetar saja seiring batu-batu yang menopang rumah bergetar. Tapi rumah tidak akan ambruk.
Orang tua di Kampung Kuta secara turun-temurun menerangkan aturan membuat rumah harus seperti itu.
Atap rumahnya menggunakan daun kirai yang bisa bertahan selama empat sampai lima tahun. Namun, jika atap tersebut dilapisi ijuk, daya tahan atapnya bisa sampai 25 tahun lebih. Sehingga tidak akan pernah terjadi bocor.
Membangun rumah juga harus berpasang-pasangan. Tidak boleh membangun satu rumah atau tiga rumah. Aturannya harus membangun dua rumah, bentuk dan ukurannya sama dan saling berhadap-hadapan. Bisa juga membangun empat rumah agar menjadi dua pasang. Intinya rumah harus berpasang-pasangan dan posisinya harus berdampingan, agar bisa saling menjaga satu sama lain serta saling tolong menolong.
Baca Juga:
Mengkaji Makna Spiritual Pada Tokoh Semar Dalam Wayang
Menurut warga setempat, aturan membuat rumah berpasangan agar dari rumah satu ke rumah yang lain dapat saling menjaga dan saling berbagi. Selain itu, petak rumah di dalamnya juga harus sesuai aturan. Ada ruang dapur, ruangan tengah, tempat menyimpan gabah, beras dan kamar.
Rumah Ramah Lingkungan
Alasan mengapa bangunan rumah harus dari bahan alami. Aki Warja menerangkan, apapun yang manusia lakukan harus di terima Bumi. Sebab Nabi Adam dan anak cucunya diciptakan dari tanah dan sari patinya, maka jasadnya harus bisa diterima lagi oleh Bumi (tanah).
Begitu pula dengan bangunan rumah, saat rumah itu dirobohkan atau sudah tidak terpakai. Maka bahan-bahan bangunannya akan kembali lagi ke tanah atau terurai di tanah. Sehingga bekas bangunan rumah tidak tersisa dan tidak mengotori Bumi.
Lahan bekas bangunan rumah di Kampung Kuta bisanya sangat subur jika ditanami tanaman apapun. Sebab rumahnya dibuat dari bahan alami, sehingga saat rumahnya roboh dimakan usia, bahan-bahan alami itu dapat terurai di tanah.
Tentu lain halnya jika bangunan rumah masyarakat Kuta menggunakan semen atau tembok. Maka akan banyak bekas bahan bangunan yang mengotori Bumi. Karena semen, tembok, paku besi dan sejenisnya sulit terurai lagi di tanah. Akhirnya benda-benda tersebut merusak kemurnian dan kandungan tanah, sehingga membuat tanah tidak subur lagi.
Peraturan di Kampung Kuta, lahan bekas bangunan rumah tidak boleh ada bekasnya. Sehingga lahannya bisa digunakan kembali untuk menanam pohon. Kabarnya sampai saat ini, masyarakat di Kampung Kuta masih mempertahankan konsep rumah anti gempa bumi dan ramah lingkungan.