Masyarakat Cirebon Heterogen Sejak Sebelum Masa Keemasan Islam
Cirebon sebagai kota pantai menjadi pusat perdagangan pada masa lalu. Karena letaknya yang strategis, Cirebon juga menjadi kota pelabuhan alternatif terpenting di pantai utara Pulau Jawa setelah Jakarta dan Semarang.
Banyak kapal-kapal berlabuh di pelabuhan Cirebon untuk melakukan perniagaan atau sekedar singgah. Kapal-kapal tersebut berasal dari daerah lain di Nusantara, Cina, Arab, Persia dan lain sebagainya.
Peneliti Manuskrip Nusantara, Mahrus pernah diwawancarai Republika pada Selasa (25/6/2019) untuk dipublikasikan di halaman Mozaik Koran Republika pada Senin (1/7/2019). Saat diwawancarai, ia menjelaskan, berdasarkan manuskrip-manuskrip Cirebon, diketahui Cirebon sudah multi kultural karena memiliki pelabuhan besar yang disebut Pelabuhan Muara Jati. Di pelabuhan tersebut terdapat mercusuar, melalui pelabuhan itu orang-orang Cina, Arab, Persia dan lain-lain singgah di Cirebon.
Ia menerangkan, karena lokasi Cirebon strategis, wilayah tersebut menjadi tempat masyarakat heterogen, berbagai ajaran dalam Islam pernah singgah di Cirebon.
Baca juga: Naskah Keagamaan Dari Masa Lalu Gambarkan Kerendahan Hati Penulisnya
Mengenai perkembangan Islam di wilayah Cirebon, hal itu tidak lepas dari peran Pangeran Cakrabuana yang dikenal oleh masyarakat Jawa Barat bernama Embah Kuwu Sangkan atau Pangeran Walang Sungsang.
Pangeran Cakrabuana bersama adiknya Rara Santang belajar Islam kepada Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nur Jati di Cirebon. Rara Santang adalah ibu dari Syekh Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Sebelum era Wali Songo, Mahrus menerangkan, sebenarnya Islam sudah ada di beberapa daerah Nusantara. Di tatar Sunda atau Jawa Barat juga sudah ada orang-orang yang memeluk agama Islam.
"Tapi ada yang mengamalkan ajaran Islam dengan sembunyi-sembunyi, ada juga yang secara terang-terangan," kata Mahrus.
Mahrus mengungkapkan, begitu Cirebon memerdekakan diri dari Kerajaan Sunda, orang-orang Islam mulai berkumpul dan menampakan diri secara perlahan. Kemudian Cirebon menjadi tempat kumpul dan tempat belajar agama Islam yang terbuka bagi siapa saja.
Berdasarkan manuskrip-manuskrip Cirebon, diperkirakan Cirebon sebagai kota pelabuhan yang sudah multi kultur sejak sebelum era Syekh Syarif Hidayatullah. Karena pada masa Syekh Syarif Hidayatullah, Cirebon sudah ramai sekali. Dalam sebuah manuskrip, pelabuhan Cirebon disebut sebagai bagian dari jalur sutra.
"Zaman Pangeran Cakrabuana, Cirebon sudah ramai, lebih ramai lagi pada zaman Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah), memang menurut saya puncak kejayaan Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati," ujar Mahrus.
Setelah Kesultanan Cirebon dan Islam berkembang dengan pesat hingga mencapai masa keemasan Islam di Cirebon pada masa Syekh Syarif Hidayatullah. Selanjutnya Kesultanan Cirebon dan penyebaran Islam diteruskan oleh anak keturunan dan murid-murid Syekh Syarif Hidayatullah.
Baca juga: Jari Jawa Raja Muslim Pertama di Ende NTT
Murid dan anak Syekh Syarif Hidayatullah ada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Lampung. Bahkan menurut Mahrus ada ulama di Sulawesi yang mengaku berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah, tapi hal tersebut masih sedang ditelusuri. Itu sebabnya kebesaran nama Syekh Syarif Hidayatullah ada di daerah-daerah lain selain Cirebon dan sekitarnya.