Hikmah

Urgensi Mempelajari Ilmu Syar’i

Ilustrasi aktivitas belajar agama di pesantren. Dok: Republika
Ilustrasi aktivitas belajar agama di pesantren. Dok: Republika

Oleh Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Ilmu syar’i adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah ta'ala kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Dengan ungkapan lain, ilmu syar’i adalah ilmu yang digunakan untuk memahami syariat Islam. Ilmu inilah yang dipuji dan disanjung dalam Alquran dan As-Sunnah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. (Syarhu Riyadhish Shalihin: 5/ 413).

Yang termasuk ilmu syar’i yaitu ilmu Tauhid, Aqidah, Akhlak, Tajwid, Fiqh, Ushul Fiqh, Maqashid asy-Syariah, Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Alquran), Ulumul Hadits (ilmu-ilmu hadits), bahasa Arab dan ilmu lainnya yang digunakan sebagai alat untuk memahami Alquran dan As-Sunnah.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sejatinya seorang Muslim itu lebih peduli dan memprioritaskan belajar ilmu syar’i dari ilmu lainnya. Sebab, tanpa ilmu syar'i, seseorang tidak mengetahui ajaran Islam, tidak dapat mengamalkan Alquran dan As-Sunnah dengan benar, tidak dapat bertauhid yang benar, tidak dapat beribadah yang benar serta tidak mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang petunjuk dan mana yang sesat.

Dengan ilmu syar’i inilah kita dapat mengetahui, memahami dan mengamalkan ajaran Islam (Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW) secara benar, sehingga kita selamat dunia akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, "Aku tinggalkan kepada kamu dua hal, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW." (HR. At-Tirmizi). Oleh karena itu, ilmu syar’i berfungsi untuk menangkal berbagai ajaran sesat.

Ilmu syar’i adalah amal shalih dan ibadah yang paling mulia, karena ilmu termasuk jenis jihad di jalan Allah ta'ala. Sebagaimana firman Allah ta'ala, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diriya." (QS At-Taubah: 122).

Begitu pentingnya menuntut ilmu syar’i sehingga Allah ta'ala melarang umat Islam pergi berjihad semuanya tanpa ada beberapa orang yang menuntut ilmu syar’i, meskipun jihad adalah suatu kewajiban dan amal ibadah yang paling agung. Namun, orang yang menuntut ilmu syar’i diberi dispensasi meninggalkan jihad.

Baca juga: Lempengan Berinskripsi Arab Ditemukan di Situs Bongal Sumatera Utara

Ilmu syar’i adalah syarat mutlak untuk mencapai kebahagian dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, kebutuhan manusia terhadap ilmu syar’i sangat mendesak, sama halnya seperti kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman. Tanpa makan dan minum, manusia tidak dapat hidup. Begitu pula dengan ilmu syar’i. Tanpa ilmu syar’i manusia tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, petunjuk dan sesat, serta perintah dan larangan.

Karena ilmu adalah cahaya. Maknanya, ilmu itu petunjuk dan penerang hidup manusia, baik urusan dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, ilmu syar’i berfungsi untuk menangkal berbagai penyimpangan dalam agama seperti ajaran sesat, syirik, khurafat, tahayul, bid’ah dan sebagainya.

Dengan ilmu syar’i kita dapat bertauhid kepada Allah ta'ala dengan benar. Kita mengetahui kewajiban dalam bertauhid dan beriman kepada Allah ta'ala. Begitu pula kita mengetahui hal-hal yang membatalkan keimanan dan tauhid.

Hal ini sangat penting diketahui, mengingat perbuatan syirik dapat membatalkan tauhid dan keimanan. Selain itu, dosa syirik itu tidak ada ampunan di sisi Allah dan divonis sesat oleh Allah ta'ala.

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang ia kehendaki. Dan barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali." (QS An-Nisa’: 116).

Selama ini, makna syirik hanya dipahami sebatas menyembah selain Allah ta'ala. Padahal, meminta pertolongan kepada makhluk yang diyakini bisa mendatangkan kemaslahatan dan kemudharatan seperti benda-benda yang diyakini keramat, kuburan-kuburan, dan tradisi-tradisi yang diyakini dapat memberi berkah atau menolak bala termasuk syirik.

Allah ta'ala telah mengecam dan membantah perbuatan tersebut dengan firman-Nya, "Katakan (Muhammad), 'Pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudharat bagi dirinya sendiri?'"(QS Ar-Ra’d: 16).

Rasulullah SAW sendiri tidak mampu mendatangkan manfaat dan menolak bala terhadap dirinya, sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya, "Katakanlah (Muhammad), 'Aku tidak punya kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudharat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah...'" (QS Al-A’raf: 188).

Maka, tauhid yang benar adalah hanya Allah lah yang berhak disembah dan dimohon pertolongan, sebagaimana firman Allah ta'ala. "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan." (QS Al-Fatihah: 5).

Begitu pula termasuk perbuatan syirik orang-orang yang mengaku dirinya mengetahui hal-hal yang ghaib seperti tukang ramal, dukun, tukang tenun dan tukang sihir. Sebab, hanya Allah lah yang mengetahui persoalan yang ghaib, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya.

"Katakanlah (hai Muhammad) tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara ghaib kecuali Allah saja." (QS An-Naml: 65).

Allah juga berfirman, "(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya." (QS Al-Jin: 26-27).

Selama ini, banyaknya perbuatan syirik yang timbul di tengah masyarakat akibat tak paham persoalan tauhid secara benar.

Dengan ilmu syar'i, seseorang dapat mengetahui aqidah yang benar yang wajib diyakini dan diikuti yaitu aqidah yang bersumber dari Alquran dan As-Sunnah yang dikenal dengan nama aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah. Inilah aqidah yang benar.

Ahlussunnah berarti orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Al-Jama'ah berarti kumpulan. Jadi Ahlussunnah wal Jama'ah adalah golongan yang mengikuti dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dan bersatu dalam manhaj mereka dan orang yang mengikuti mereka yaitu tabi'in dan tabiut tabi'in, termasuk imam-imam mazhab. Inilah ciri khas Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para sahabatku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham (maksudnya pegang erat-erat sunnah itu), dan jauhilah oleh kalian perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan dalam (agama bid'ah) itu kesesatan, dan setiap bid'ah itu kesesatan." (HR Abu Daud, At-Tirmizi, dan Ibnu Majah).

Rasulullah SAW juga bersabda, "Terpecah belah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Rasulullah ditanya, "Siapa golongan yang satu itu?" Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang berpegang teguh dengan sunnahku dan para sahabatku seperti hari ini."

Dalam sebahagian riwayat, golongan yang satu itu adalah al-jama'ah. (HR Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, ia berkata, shahih sesuai syarat Muslim)

Dengan ilmu syar'i, seseorang dapat mengetahui aqidah atau paham yang sesat yaitu aqidah atau paham yang menyimpang dari Alquran dan As-Sunnah yang wajib ditolak dan dijauhi. Paham sesat ini bertentangan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

Selain itu, dengan ilmu kita dapat beribadah dengan benar, sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Kita dapat mengetahui hal-hal yang wajib (rukun) dalam suatu ibadah. Begitu pula kita mengetahui hal-hal yang sunnah, sehingga berusaha meraih keutamaannya, dan hal-hal membatalkan suatu ibadah atau yang bertentangan dengan sunnah, sehingga kita menjauhi dan meninggalkannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Jauhilah oleh kamu urusan-urusan yang dibuat-buat (bid’ah). Sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR Abu Daud dan at-Tirmizi).

Dalam riwayat yang lain, “Seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan dalam agama, dan setiap yang diada-adakan dalam agama itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu masuk ke dalam neraka." (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Nabi Muhammad SAW juga bersabda "Barang siapa yang mengerjakan suatu amal ibadah yang tidak berdasarkan petunjuk kami, maka amalnya ditolak." (HR Muslim).

Dengan ilmu pula seseorang dapat mengetahui sesuatu yang dihalalkan dan sesuatu yang diharamkan. Dengan demikian, ia akan berusaha selalu untuk mengkomsumsi makanan dan minuman yang halal dan meninggalkan segala makanan dan minuman yang diharamkan agar diberkahi dan diterima doanya oleh Allah ta'ala. Sebab, makan dan minum yang halal merupakan syarat utama diterimanya doa kita oleh Allah ta'ala.

Demikian pula dapat mengetahui perbuatan dan perkataan yang diharamkan. Sehingga kita tidak tejerumus pada hal-hal yang dilarang.

Bahkan, untuk berdakwah sekalipun kita wajib berilmu. Berdakwah tanpa ilmu sama saja menebar kesesatan di tengah masyarakat. Maka, ilmu menjadi syarat utama bagi seorang dai agar dakwahnya benar, sebagaimana firman Allah SWT.

"Katakanlah, inilah jalanku yang lurus, aku mengajak menusia kepada Allah atas dasar ilmu yang aku lakukan beserta pengikutku...” (QS Yusuf: 108)

Allah juga berfirman, "Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik..." (QS An-Nahl: 125).

Oleh karena itu, mengingat urgensi ilmu syar’i dalam kehidupan ini, maka sudah sepatutnya kita berusaha untuk mencari dan mempelajarinya. Ilmu syar’i mesti diprioritaskan, karena menuntut ilmu syar’i merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim.

Selain itu, orang yang mempelajarinya mendapat berbagai keutamaan seperti yang disebutkan dalam Alquran dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Sudah sepatutnya berbagai keutamaan menuntut ilmu memberi motivasi dan semangat kepada kita untuk menuntut ilmu syar’i.

Baca juga: Jari Jawa Raja Muslim Pertama di Ende NTT

Sangatlah rugi bila kita tidak meraih berbagai keutamaan itu. Semoga kita termasuk orang-orang yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT untuk mempelajari ilmu syar'i dan dimudahkan mempelajarinya serta mendapat berbagai keutamaan yang diperuntukan bagi orang yang mempelajarinya.

Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Ketua Jaringan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) Aceh, Anggota Ikatan Ulama dan Duat Asia Tenggara, Dosen UIN Ar-Raniry, dan Doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

0