Mengapa Penyebaran Islam di Malang Raya Pada Masa Awal Terkesan Lambat?
Mempelajari sejarah perkembangan Islam di Indonesia memang selalu menarik untuk ditelusuri. Terlebih di daerah di mana kita tinggal saat ini. Pada kesempatan kali ini, Republika akan menyajikan sejarah perkembangan Islam di wilayah Malang Raya dari pandangan Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono.
Malang Raya merupakan salah satu wilayah yang berada di Jawa Timur (Jatim). Wilayah ini terdiri atas Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang. Saat ini tiga wilayah tersebut termasuk yang paling maju di Jatim dan acap dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah. Lalu apakah Malang Raya di masa lampau sudah termasuk sebagai daerah yang penuh dengan keramaian seperti saat ini?
Pada masa lampau, Malang Raya termasuk salah satu pedalaman mengingat letak geografisnya. Kawasan ini dikelilingi beberapa gunung, seperti Semeru, Bromo, Arjuno, Kawi dan sebagainya. Karena faktor ini, Malang Raya terkenal lebih lamban penyebaran Islamnya dibandingkan daerah-daerah pesisir.
Secara umum, Islam masuk ke Nusantara melalui para pedagang dari wilayah Timur Tengah. Perkembangan yang paling cepat terjadi berada di kawasan pesisir terutama di Pantura. Namun kalau pantai paling selatan agak akhir sebarannya karena pendaratan para pedagang lebih sering terjadi di pesisir utara.
Data mengenai sejarah penyebaran Islam di Malang Raya lebih pada tradisi lisan. Sejauh ini, para sejarawan Malang Raya masih belum mampu mendapati data tekstual terkait perkembangan awal Islam di Malang Raya.
Jika merujuk pada tradisi lisan, islamisasi di Malang Raya berpusat pada tokoh Gribig atau Gidibig. Adapula yang menyebut ini berpusat pada kerajaan otonom yang sempat berkembang di Malang Raya, Sengguruh atau Tanjung Sengguruh. Tradisi lisan ini sudah dihimpun dalam literatur yang ditulis oleh Piguet sekitar 1960-an. Piguet memuat berbagai tradisi lisan yang ada di Jawa termasuk di Malang Raya berkenaan tentang Gribig dan Sengguruh.
Tokoh Gribig di sini bukan Ki Ageng Gribig yang dikenal masyarakat Malang saat ini. Tokoh ini lebih dahulu muncul meskipun memiliki nama sama dengan Ki Ageng Gribig. Oleh sebab itu, Dwi pun membedakan keduanya dengan sebutan Gribig senior dan junior.
Tokoh Gribig memiliki peranan penting dalam menyebarkan Islam terutama di Malang bagian Timur. Berdasarkan legenda di masyarakat, tokoh Gribig merupakan murid dari Syekh Manganti. Syekh Manganti dikenal sebagai tokoh Muslim yang berada di Surabaya bagian selatan. Berdasarkan sumber tradisi yang berkembang di daerah Surabaya dan Gresik, beliau merupakan paman dari Giri dan terdapat makam kuno dari yang bersangkutan.
Masa hidup Syekh Manganti belum tentu di masa Sunan Giri yang dikenal sebagai Walisongo. Giri di sini bisa jadi keturunan Walisongo Sunan Giri atau Sunan Prapen. Sebab di era tersebut Giri bukan lagi pesantren tapi pusat pemerintahan berkekuatan politik dengan latar keislaman.
Tokoh Syekh Manganti di sini dapat dipastikan hidup setelah masa Sunan Giri yang dikenal sebagai Walisongo. Lalu apa hubungannya Manganti dengan Gribig? Gribig diketahui sebagai murid dari Syekh Manhanti yang ditempatkan di Malang dengan mengambil posisi yang sekarang di Kota Malang bagian timur.
Penempatan Gribig di Malang memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengislamkan daerah pedalaman seperti Malang Raya. Jika legenda ini benar, maka dapat dipastikan asal muasal keislaman di Malang berasal dari Surabaya - Gresik.
Kemudian tujuan penempatan Gribig berikutnya lebih pada masalah politik. Gribig ditugaskan untuk mengontrol Kerajaan Sengguruh yang saat itu masih beragama Hindu. Keberadaan Sengguruh termasuk luar biasa dalam mempertahankan agamanya mengingat beberapa tempat di Jatim sudah diislamkan termasuk Majapahit.
Kerajaan Sengguruh telah berkembang sebelum Majapahit mengalami keruntuhan. Kerajaan otonom ini hadir di masa yang sama dengan Majapahit era Girindrawardhana Wangsa. Dengan kata lain, kerajaan Sengguruh muncul di akhir abad 15 dengan status otonom. Statusnya kerajaan otonom walaupun Raja Pramana memiliki kekerabatan dengan raja terakhir Majapahit di Kediri, Patih Udara.
Dengan kemampuannya, Raja Pramana mampu mengembangkan Sengguruh tanpa harus meminta persetujuan dari Majapahit. Sengguruh berhasil menjadi kerajaan kuat meskipun berada di lokasi terpencil. Lokasinya berada di Malang Selatan atau saat ini disebut sebagai wilayah Kepanjen di Kabupaten Malang.
Kerajaan Sengguruh tepat berada di pertemuan antara Sungai Brantas dan Kali Metro. Ditambah lagi, lokasinya dikelilingi bukit-bukit kecil sehingga tampak terisolasi. Karena letak ini, Kerajaan Sengguruh tidak mudah ditaklukkan oleh lawan.
Bukan hanya sulit ditaklukkan, Kerajaan Sengguruh juga disebut kuat karena sempat menduduki Kesultanan Giri. Pendudukan ini hanya berlangsung sebentar dan berakhir sekitar 1530-an. Kondisi ini bisa terjadi karena Pasuruan yang merupakan jalur antara Malang dengan Gresik berhasil dipotong Kerajaan Demak. Karena Pasuruan ditaklukan Kerajaan Demak, maka pendudukan Giri pun ditarik.
Dibandingkan kerajaan lainnya di Jatim, Sengguruh disebut sebagai wilayah terakhir yang berhasil ditaklukkan Demak. Pusat Majapahit di Kediri berhasil dikuasai Demak sekitar 1517 sedangkan Pasuruan pada 1530-an. Sementara itu, Kerajaan Sengguruh berhasil dikuasai sekitar 1545.
Berdasarkan data ini, maka dapat disimpulkan ekspansi Demak ke Sengguruh jelas membutuhkan tim intelijen untuk mengawasi apa yang terjadi di Malang Selatan. Tokoh Gribig bukan semata-mata menyiarkan Islam tapi juga memiliki maksud politis di dalamnya. Dia diminta Kerajaan Demak yang bekerja sama dengan Giri untuk mengawasi Sengguruh. Bantuan untuk Demak ini karena dilatarbelakangi sesama penguasa Islam dan balas dendam juga dari Giri saat penaklukan dulu.
Dengan adanya penaklukan ini, Sengguruh sudah mulai memasuki babak awal perkembangan Islam. Seluruh kerajaan yang di bawah kekuasan Demak berubah dengan latar Islam termasuk Sengguruh. Dari sini, Ki Ageng Sengguruh menjadi penguasa Islam pertama setelah Raden Pramana.
Kerajaan Sengguruh berbasis Hindu akhirnya takluk oleh Kerajaan Demak sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Islam akhirnya berkembang di Malang Selatan dan timur melalui Demak dan tokoh Gribig.
Di antara berbagai area di Malang Raya, bagian barat yang paling terakhir perkembangan Islamnya. Islam berkembang di sana baru terjadi pada abad 17. Hal itu berarti baru terjadi satu sekitar abad berikutnya setelah penaklukan Kerajaan Sengguruh. Situasi ini dapat terjadi karena wilayah ini memang lebih pedalaman lagi.
Islamisasi di Malang barat tak lepas dari sosok Raden Trunojoyo yang membangun benteng di Ngantang, Kabupaten Malang. Bersama tokoh andal militer dari Kerajaan Gowa, Karaeng Galesong, mereka bersama-sama melawan Belanda dan Kesultanan Mataram. Dengan mendirikan benteng di atas bukit tinggi Ngantang, mereka dapat memonitor pergerakan lawan dari atas.
Namun pada 1679, pertahanan Trunojoyo berhasil dikalahkan Belanda dan Kesultanan Mataram. Trunojoyo ditangkap dan dibunuh oleh Sultan Mataram sekitar 1680. Sementara Karaeng Galesong mengalami sakit, entah sejak setelah atau sebelum perang terjadi. Tokoh yang terkenal di Gowa ini dimakamkan di pedalaman Malang, Ngantang.
Setelah digempur Belanda dan Kesultanan Mataram, para laskar Trunojoyo berpencar mencari perlindungan. Hampir sebagian besar termasuk tokoh pentingnya lari ke berbagai desa di Malang barat, termasuk ke Ngantang, Pujon dan beberapa wilayah di Kota Batu.
Penguatan ajaran Islam semakin besar ketika eks laskar Untung Suropati dan Pangeran Diponegoro lari ke Malang Raya. Sekitar 1750-an, mereka memasuki Malang dan memberikan dampak yang kuat pada pemahaman Islam warga setempat. Hal ini lebih tepatnya terjadi di Malang tengah dan selatan.
Seiring perkembangan waktu, Islam pun terus berkembang di Malang Raya. Namun Islam di Jawa lebih kental dengan pengaruh budaya Jawa atau Islam Kejawen. Hal ini dianggap wajar karena ajarannya dibawa oleh para eks laskar tersebut.
Gerakan memurnikan Islam di Malang Raya lebih mendapatkan pengaruh dari Bangil dibandingkan Ampel karena kedekatan wilayah. Kemudian semakin kuat saat terjadinya gelombang migrasi besar-besaran dari Yaman ke Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Malang sekitar 1850-an. Hal ini terlihat jelas dengan adanya kampung Arab di beberapa titik di Malang, seperti di sekitar Masjid Jami atau Alun-Alun Kota Malang. Islam di wilayah tersebut memiliki warna yang agak berbeda dengan lainnya.