Tak Hanya Rempah-Rempah, Sagu Juga Buat Kolonial Tertarik Datang ke Maluku

Budaya  
Film dokumenter HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan sagu termasuk jenis dan teknik pengolahannya di Kepulauan Tidore. Foto: Tim Produksi
Film dokumenter HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan sagu termasuk jenis dan teknik pengolahannya di Kepulauan Tidore. Foto: Tim Produksi

MALANG -- Kepulauan Maluku dikenal sebagai lumbung komoditas rempah-rempah dunia pada abad perniagaan. Kenyataan historis tersebut membuat pelaut-pelaut Portugal dan Spanyol datang merapat ke daerah tersebut.

Rempah-rempah seperti cengkih, lada, dan pala memang menjadi komoditas perdagangan di masa lampau. Namun sagu justru memainkan peranan sentral yang membuat Spanyol maupun Portugal bertahan dua abad di daerah tersebut. Hal ini lantaran mereka turut mengkonsumsi sagu sebagai pangan lokal setempat.

Sejarawan dan Produser Daya Negri Wijaya menyatakan, ketiadaan gandum membuat bangsa Iberia ikut memakan dan menikmati kuliner sagu Maluku. Jejak lingua franca kebahasaan membuktikan terdapat istilah ‘forno’ yang diserap dari kosa kata Portugis guna menyebut alat cetak panggang berbahan dasar tanah liat untuk membentuk saripati sagu. Istilah ini juga merupakan kosa kata yang dipakai di pasar-pasar Maluku Utara hingga hari ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut Daya, padanan kata aslinya ialah keta (dari kata ‘cetak’) di tempat produksinya, yakni Pulau Mare. Penduduk Tidore maupun Maluku Utara dapat membedakan kedua kosa kata itu dengan baik. “Keta saat dibawa ke pasar lebih familiar disebut sebagai forno lantaran menjadi komoditas dagang,” katanya dalam pesan resmi yang diterima Republika.

Berdasarkan hal tersebut, Daya dan timnya pun mencoba memperdalam penelitian tentang sagu. Hal ini dituangkannya melalui temuan-temuan riset, arsip, kartografi (ilmu peta), bahasa, sejarah, literatur hingga studi lapangan mengenai sagu dan tradisi teknik pengolahannya.

Dari sini, timnya pun berhasil memproduksi film dokumenter HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu (produksi 2023, durasi 28 menit 12 detik). Ketua Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang ini berhasil mendapatkan fasilitasi Kajian Obyek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dari Dana Indonesiana Kemdikbudristek RI yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Sutradara Subiyanto turut menemukan konsep menarik berupa ketidak-perluan sebuah daerah dapat mencukupi daerahnya sendiri sebagaimana yang biasa ia jumpai di Jawa. Di Tidore, Subi menyoroti proses produksi forno yang khusus dibuat di Pulau Mare.

Sementara itu, kata dia, untuk kebutuhan cat dan bahan peralatan lainnya membutuhkan material pulau- pulau lain. “Setiap pulau memiliki spesifikasinya masing-masing dan saling membutuhkan dalam mata rantai penyelesaian produksi forno,” kata sineas lulusan Insititut Kesenian Jakarta (IKJ) dan ISI Solo ini.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image