Mencintai Juga Perlu Pakai Logika

Santai  
(Ilustrasi). Kekerasan dalam berpacaran di Indonesia. Foto: Mardiah
(Ilustrasi). Kekerasan dalam berpacaran di Indonesia. Foto: Mardiah

Tidak ada yang salah untuk mencintai seseorang lalu menjalin ikatan lebih dalam seperti berpacaran. Namun dalam memberikan cinta kepada seseorang, pantaskah hanya mengedepankan perasaan semata? Mempertahankan pasangan karena merasa cinta meskipun seringkali mendapatkan perlakuan kekerasan dalam bentuk apapun.

Semasa muda, perempuan berinisial NK pernah menjalin hubungan pacaran dengan seorang pria. NK pernah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari pria tersebut. Salah satu bagian tubuhnya disebut tidak terlalu bagus sehingga diyakini tak akan menarik untuk pria lainnya.

Sekilas, bagi masyarakat awam, pengalaman yang dialami NK mungkin bisa disebut sebagai hal biasa. Ada banyak perempuan yang mendapatkan perlakuan sama dari pasangannya. Namun alih-alih kesal atau marah, mereka membiarkan pengalaman tersebut berlalu begitu saja.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

NK tidak seperti masyarakat awam pada umumnya. Dia mengaku kesal dan marah sampai akhirnya memutuskan untuk perlahan-lahan menjauh dari pasangannya kala itu. NK tidak tahu bahwa sikap pasangannya termasuk kekerasan atau bukan tetapi dia meyakini ini bukan pilihan yang baik untuk dipertahankan. Pada akhirnya, NK memilih untuk mengakhiri semuanya daripada bertahan karena terluka atas psikisnya.

Tak hanya NK, pengalaman kekerasan juga dialami oleh presenter Indonesia, Angie Ang. Pengalaman Angie yang diungkap melalui media sosial Twitter ini cukup viral di masyarakat sampai akhirnya masuk dalam pemberitaan di media nasional. Pada utas di Twitter-nya, Angie mengaku mendapatkan kekerasan fisik dari pasangannya saat itu. Hal ini ditunjukkan melalui video yang diunggahnya di mana terdapat bekas tamparan di pipi Angie. Selain itu, dia juga mendapatkan ancaman penyebaran video pribadi dan perkataan kasar yang menghina dari kekasihnya. Atas kejadian ini, Angie pun meminta pertolongan dukungan ke media sosial untuk kemudian dilaporkan ke aparat hukum. Meskipun demikian, kasus ini berakhir dengan kesepakatan damai dari kedua belah pihak.

(Ilustrasi). Kekerasan dalam berpacaran di Indonesia. Foto: freepik.com
(Ilustrasi). Kekerasan dalam berpacaran di Indonesia. Foto: freepik.com

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus NK dan Angie? Pada umumnya, NK dan Angie memang sama-sama mendapatkan kekerasan dalam berpacaran. Namun bentuk kekerasan keduanya berbeda di mana NK mendapatkan kekerasan secara psikologis sedangkan Angie menerima kekerasan fisik dan psikologis.

Pada kasus NK, dia mengaku tidak tahu menahu apa yang dialaminya termasuk kekerasan atau tidak. Hal ini bisa menjadi contoh bahwa tidak semua melek dengan masalah kekerasan. Kondisi tersebut tentu sangat disayangkan apabila ketidaktahuan tersebut menyebabkan seseorang menormalisasikan tindakan kekerasan.

Seperti diketahui, Murray yang dikutip oleh Wulandari (2019) mengungkapkan, jenis kekerasan tidak hanya berkenaan dengan masalah fisik. Ada kekerasan psikologis di mana seseorang mendapatkan ancaman, hinaan dan kekangan dari orang lain. Selain itu, terdapat kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual yang kini cukup massif terjadi di dunia termasuk Indonesia.

Fenomena ketidaktahuan masyarakat terhadap kekerasan jelas sangat mengkhawatirkan. Kondisi tersebut bisa menyebabkan jumlah kasus kekerasan di Indonesia terus meningkat ke depannya. Apalagi jika seseorang membiarkan dirinya terluka tanpa membalas atau lepas dari lingkar kekerasan.

Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2020, terdapat 3.221 kasus kekerasan terhadap istri, 1.309 kekerasan dalam berpacaran dan 954 kekerasan terhadap anak perempuan. Kemudian tercatat 127 kekerasan yang dilakukan mantan suami dan 401 kekerasan yang dilakukan mantan pacar. Komnas Perempuan juga melaporkan ada 11 kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan 457 kekerasan personal lainnya pada masa yang sama.

Jumlah data yang dirilis Komnas Perempuan selama 2020 bukanlah angka kecil. Namun jumlah ini diyakini hanya segelintir yang terungkap ke permukaan. Bayangkan saja apabila jumlah kasus ini terungkap secara menyeluruh dari berbagai daerah di Indonesia. Tentu ini akan menjadi pekerjaan besar untuk pemerintah dan masyarakat luas guna mengurangi fenomena tersebut.

Lalu pertanyaannya, apa yang menyebabkan seseorang sungkan melepaskan diri dari hubungan pacara yang penuh kekerasan? Faktor utamanya adalah ketidaktahuan korban bahwa mereka sebenarnya telah menerima kekerasan. Bahkan, Psikolog dari Clinical Psychologist Sejiwa Psikologi, Silviani mengatakan, banyak yang menganggap kekerasan dalam berpacaran sebagai bentuk perhatian atau cinta. Ada pula yang terisolasi dan kesulitan meminta bantuan, takut stigma dan reviktimisasi serta takut rahasia tidak terjaga. Di samping itu, hal ini bisa dilatarbelakangi di mana seseorang sudah terlalu cinta kepada pasangannya sehingga dia memilih untuk bertahan dan berharap pasangan akan berubah suatu waktu. Kemudian bisa jadi seseorang tidak memiliki pilihan lain dan khawatir tak menemukan pasangan seperti yang dia jalani saat itu.

Melihat faktor-faktor tersebut, maka sudah saatnya kesadaran dan pengetahuan mengenai kekerasan terus dimasifkan. Hal ini bisa dilakukan di banyak tempat, baik itu dalam kegiatan formal seperti seminar, diskusi dan sejenisnya, penyebaran informasi di media sosial dan media massa serta lembaga formal dan non-formal seperti sekolah, universitas, pesantren dan sebagainya.

Penulis tak memungkiri bahwa penyebaran informasi melalui media sosial dan media massa memiliki peranan besar untuk masyarakat. Berdasarkan pengalaman pribadi, pengetahuan tentang kekerasan di sejumlah akun media sosial yang kredibilitas dan media massa turut membantu menambah pengetahuan untuk diri sendiri. Sebelum dekat dengan dua dunia tersebut, penulis tidak memiliki pengetahuan dasar yang sesungguhnya sangat bermanfaat untuk kehidupan.

Namun informasi yang tersebar di media sosial dan media massa nyatanya hanya bisa diperoleh dan diserap dengan baik oleh kalangan tertentu. Hal ini terutama kalangan usia remaja hingga 40 tahun di mana mereka sangat dekat dengan dunia tersebut. Kalangan yang menjadi PR untuk memasifkan pengetahuan kekerasan adalah masyarakat yang kini berusia 45 tahun ke atas. Kondisi tersebut perlu diatasi dengan cara mengadakan kegiatan secara luring di tempat kediaman atau tempat kerjanya. Ditambah lagi juga perlu menghadirkan narasumber yang sekiranya dapat mudah dipercaya dan bisa diterima oleh mereka. Jika hal ini dapat dilakukan dengan baik, maka masalah kekerasan bisa diatasi secara perlahan.

Referensi

Cahyana, B. (2022, 24 Januari). “Setahun Terjadi 1.309 Kasus Kekerasan dalam Pacaran”. Diakses dari https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/01/24/510/1093988/setahun-terjadi-1309-kasus-kekerasan-dalam-pacaran.

Kumparan. (2022, 20 Mei). “Angie Ang Curhat di Twitter, Ngaku Dapat Ancaman hingga Kekerasan dari Pacar”. Diakses dari https://kumparan.com/berita-artis/angie-ang-curhat-di-twitter-ngaku-dapat-ancaman-hingga-kekerasan-dari-pacar-1y6rrXoO7v6/full.

Pratama, F.N. (2022, 24 Mei). "Sempat Ribut, Angie Ang Damai dengan Kekasih di Polres". Diakses dari https://hot.detik.com/celeb/d-6092058/sempat-ribut-angie-ang-damai-dengan-kekasih-di-polres.

Rusyidi, B., & Hidayat, E. N. (2020). Kekerasan Dalam Pacaran: Faktor Risiko Dan Pelindung Serta Implikasinya Terhadap Upaya Pencegahan. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 6(2), 152-169.

Wulandari, P. (2019). Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja Laki-Laki (Doctoral dissertation, Universitas Mercu Buana Yogyakarta).

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image