Sejarah Permukiman Padat di Tepian Rel Kereta Api Malang

Sejarah  
Potret jembatan kereta api di Malang pada masa kolonial Belanda. Sejarah permukiman padat di tepian rel kereta api Malang (Ilustrasi). Dok. KITLV
Potret jembatan kereta api di Malang pada masa kolonial Belanda. Sejarah permukiman padat di tepian rel kereta api Malang (Ilustrasi). Dok. KITLV

Lokasi yang padat di sekitar rel kereta api bukanlah hal baru di Indonesia. Hampir sebagian kota besar yang dilalui rel akan memunculkan kondisi tersebut. Hal ini tak terkecuali fenomena pemukiman padat di wilayah Kota Malang.

Lalu sebenarnya sejak kapan permukiman padat di sekitar rel kereta api timbul di Kota Malang? Untuk menjawab hal tersebut, Arkeolog asal Malang, Dwi Cahyono mencoba mengungkapkannya dari sisi sejarah.

Dibandingkan daerah lain di Indonesia, perkembangan kereta api di Pulau Jawa memang cukup masif. Setidaknya terdapat dua stasiun yang berdiri pertama kalinya di Malang. "Dua stasiun yang jaraknya tidak terlalu jauh, yaitu Stasiun Kota Baru dan Stasiun Kota Lama," ucap Dwi kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Stasiun Kota Baru dan Stasiun Kota Lama didirikan dalam waktu yang bersamaan. Berdasarkan catatan sejarah, Stasiun Kota Baru diresmikan pada 21 Juli 1879. Sementara itu, Stasiun Kota Lama hanya tertulis tahunnya, yakni 1879.

Pendirian bangunan stasiun tentu saja disertai dengan pembangunan rel kereta api. Dwi menilai, pembangunan rel dilakukan lebih awal dari stasiun. Pasalnya, pengelola harus melakukan pembebasan lahan yang tidak mudah untuk dilakukan dengan cepat.

Menurut Dwi, pembangunan rel diperkirakan diakukan setelah keluar aturan pada 1875. Aturan tersebut ditunjukkan kepada perusahaan kereta api Hindia Belanda, yakni Staatsspoorwegen (SS). Perusahaan ini diperkenankan membangun jalur kereta api dari Bangil ke Malang.

Bangunan Stasiun Kota Lama dan Kota Baru semula menghadap ke arah timur. Namun sekitar 1930an, arah tersebut diubah menjadi ke barat. Hal ini berarti bangunan stasiun mengarah pada Alun-Alun Bundar Kota Malang.

Keberadaan kereta api di Malang sendiri tidak lepas dari aturan UU Agraria yang sudah diresmikan pada 1870an oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada era yang sama juga muncul UU tentang pergulaan.

"Jadi pembangunan rel tidak bisa dilepas dengan munculnya perkebunan di Malang seperti tanaman kopi, teh, kina, cokelat, karet dan seterusnya. Kemudian juga ada munculnya pabrik gula di Malang," ungkapnya.

Berdasarkan data tersebut, maka dapat dipastikan keberadaan kereta ditunjukkan sebagai alat pengangkut hasil bumi. Transportasi ini dianggap lebih mudah untuk membawa hasil bumi dibandingkan kendaraan darat lainnya. Pasalnya, kontur jalan Malang pada masa tersebut tidak terlalu bagus sehingga menyulitkan kendaraan darat jenis lainnya.

Dwi tak menampik, Malang Raya pada masa tersebut memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Hal ini terutama untuk perkebunan kopi, gula, kina, teh dan lain-lain. Hasil-hasil bumi tersebut biasanya akan dikirim ke luar kota bahkan luar negeri.

Potret rel kereta api di Malang pada masa kolonial Belanda. Sejarah permukiman padat di tepian rel kereta api Malang (Ilustrasi). Dok. KITLV
Potret rel kereta api di Malang pada masa kolonial Belanda. Sejarah permukiman padat di tepian rel kereta api Malang (Ilustrasi). Dok. KITLV

Permukiman Padat di Pinggir Rel Kereta Api 

Adapun mengenai permukiman di rel kereta api, Dwi mengungkapkan, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun jarak antara rumah dan rel kereta api tidak sedekat saat ini. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk pada masa tersebut tidak sepadat sekarang.

Pada masa lampau, bentuk pemerintahan Malang masih dalam bentuk kadipaten. Pusat kotanya berada di wilayah Madyopuro atau sekitar Gribig. Lalu menjelang tahun 1800 terjadi perubahan pemerintahan dari kadipaten menjadi katumenggungan.

Menurut Dwi, saat ini katumenggungan berada di Kampung Tumenggungan. Pada area tersebut juga terdapat Alun-Alun Katumenggungan dan pasar besar yang kini dikenal dengan Pasar Kebalen.

Selanjutnya, bentuk pemerintahan Malang berubah kembali menjadi kabupaten. Situasi ini menyebabkan adanya pembangunan alun-alun baru yang kini berada di sekitar pendopo Kabupaten Malang. Tak jauh dari tempat tersebut juga muncul Pasar Besar.

Perubahan pemerintahan menyebabkan Alun-Alun Katumenggungan tidak berfungsi seperti sedia kala. Hal ini membuat SS mendirikan rel kereta api di tengah-tengah alun-alun. Lambat-laun alun-alun menghilang lalu berubah menjadi permukiman.

Situasi tersebut juga menyebabkan Pasar Kebalen yang merupakan Pasar Besar Katumenggungan berada di tepian rel. "Jadi itu rel akhirnya membelah pusat perekonomian di selatan Alun-Alun Katumenggungan. Sebab itu, jadi permukiman padat karena ada pasar," ungkapnya.

Kepadatan di sekitar rel kereta api juga dilatarbelakangi fungsi stasiun sebagai pengangkut hasil bumi. Oleh karena itu, banyak bermunculan gudang-gudang besar di sekitar rel. Hal ini karena bangunan tersebut dijadikan sebagai tempat penyimpanan hasil perkebunan.

Meskipun ada kepadatan, Dwi memastikan, perusahaan SS sudah menyiapkan sempadan di tepian rel kereta api. Hal ini berarti letak permukiman atau bangunan di sekitar rel kereta api tidak terlalu berhimpitan seperti sekarang.

Dwi memperkirakan kepadatan penduduk di Malang mulai terjadi setelah era kemerdekaan. Ketika itu, Malang mulai menjadi sentra baik pemerintahan, ekonomi maupun pendidikan. Bahkan, Malang menjadi kota besar kedua di Jawa Timur (Jatim) setelah Surabaya.

Kepadatan di Malang mulai sangat terasa saat memasuki era 1990an. Berbagai masyarakat dari sejumlah penjuru datang ke Malang dengan berbagai alasan. Situasi ini menyebabkan jumlah penduduk terus meningkat dari waktu ke waktu.

Di sisi lain, masyarakat tidak mudah untuk mendapatkan tanah di Malang. Selain terbatas, harganya juga tinggi sehingga menyulitkan untuk mereka yang keuangannya tidak cukup. Fenomena ini pun mendorong mereka untuk mengambil tanah-tanah sempadan baik di sekitar sungai maupun rel kereta api untuk didirikan bangunan rumah.

"Dan itu dilakukan sudah lama. Kalau hitungannya dari 1970, maka itu sudah berlangsung 50 tahun atau setengah abad. Selama setengah abad ini tidak ada penindakan, dibiarkan. Tanah tersebut dirasa jadi miliknya padahal sudah nyerobot tanah milik PT KAI," kata dia menambahkan.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image