Tantangan Besar Start Up Saat Ini Adalah Situasi Global
Di tengah tekanan situasi global, industri start up di Indonesia diperkirakan kian menghadapi tantangan yang tidak ringan pada 2023. Start up yang terkoneksi dengan platform e-commerce, kemungkinan yang lebih bisa bertahan.
Hal tersebut disampaikan Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, dalam webinar yang digelar Institute of Social Economic Digital (ISED) bertema Meneropong Masa Depan Start up 2023 di Jakarta.
Menurut Rudiantara, transaksi e-commerce di Indonesia diprediksi masih akan tumbuh. Pada 2023 ini, nilai transaksi (total processing value) diperkirakan mencapai Rp 600 triliun dari sebelumnya Rp 500 triliun pada 2022.
Ia menjelaskan bahwa situasi ekonomi global saat ini memang sangat mempengaruhi terhadap keberlangsungan start up. Hal ini dikarenakan aliran dana investasi beralih ke sektor yang pasti saja seperti perbankan.
"Kondisi ini memengaruhi bagi start up di level letter stage. Bahkan tidak sedikit ada start up yang melakukan efisiensi SDM akibat dampak ekonomi global," kata Rudiantara dalam siaran pers, Jumat (27/1/2023)
Ia menerangkan, start up di Indonesia jumlahnya banyak, namun tidak diketahui keberadannya, kecuali yang terkoneksi dengan platform e-commerce sekitar 20 juta. Dari banyaknya start up di Indonesia, diperkirakan hanya 5 persen saja yang bisa bertahan dalam 10 tahun dan tidak lebih dari 10 persen yang bertahan dalam lima tahun.
"Bahkan di tahun 2017-2018, succes rate start up yang bertahan 10 tahun hanya 3 persen," ujar Rudiantara.
Founder dan Dewan Pakar Institute of Social Economic Digital (ISED), Ryan Kiryanto, mengatakan, pertumbuhan start up Indonesia beberapa tahun lalu berkembang pesat. Ketika pandemi Covid-19 dua tahun lalu, terjadi perubahan perilaku individu dari yang bersifat manual menuju digital. Hal ini yang dimanfaatkan generasi muda untuk mengembangkan start up.
Namun belakangan ini bisnis start up di Indonesia agak meredup karena kondisi ekonomi dunia sedang tidak sehat. Beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan tentunya Rusia mengalami resesi.
"Kondisi ini memengaruhi investor yang tadinya mau cheap in, sekarang mereka sementara berhenti dulu. Kondisi ini menganggu aliran kas di sebagian start up Indonesia,” kata Ryan.
Dewan Pakar ISED Dianta Sebayang, menambahkan, Indonesia termasuk salah satu negara yang menghasilkan banyak start up. Dari data yang dipaparkan, Indonesia adalah negara nomor lima penghasil start up.
Ia menjelaskan, yang menarik di Indonesia adalah banyaknya start up karya anak bangsa. Namun sayangnya mereka menjadi supporting dari industri yang lain.
"Tahun ini masih banyak pertumbuhan karyawan di perusahaan start up. Tapi yang naik memang di sektor keuangan,” ujarnya.
Dewan Pakar ISED, Rosdiana Sijabat, mengatakan, antara UMKM dan ekonomi digital memiliki kaitan erat. UMKM diharapkan dapat memanfaatkan digitalisasi untuk perkembangan usaha. Disebutkan, UMKM memiliki kontribusi besar terhadap ekonomi digital Indonesia.
Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis UNJ, Ignatius Untung, mengatakan, pada dasarnya start up tidak seutuhnya dimonopoli oleh perusahaan teknologi. Dia menilai bahwa sebenarnya start up adalah rintisan. Sebuah perusahaan rintisan teknologi ketika permodalannya disuntik nature company digital memiliki cara beda dengan perusahaan pada umumnya yang dari kecil dicari dulu sampai unit ekonominya bagus dan profit, kemudian membesarkan bisnis.
"Perusahaan rintisan itu lebih banyak fokus membesarkan dulu karena faktor dari pemodalnya. Ada pemodal yang karakternya memaksa perusahaan rintisan teknologi untuk sesegera mungkin naik valuasinya walapun tidak profit karena nilai bukunya naik dan ketika dijual bisa profit,” jelasnya.