News

Simposium Khazanah Pemikiran Santri Hasilkan Banyak Paper Ilmiah

Kegiatan Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren di Jakarta pada (23/10/2022). Dok Istimewa
Kegiatan Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren di Jakarta pada (23/10/2022). Dok Istimewa

Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren ditutup di Sunlake Hotel, Jakarta pada (23/10/2022). Pada acara penutupan simposium ini disampaikan resume singkat hasil-hasil diskusi panel yang telah dilakukan selama tiga hari, sejak 21-23 Oktober 2022.

Penutupan simposium ini bersamaan dengan berakhirnya seluruh rangkaian acara peringatan Hari Santri 2022, termasuk malam puncak peringatan Hari Santri 2022 yang digelar di Jakarta International Expo dan Peringatan Hari Santri 2022 yang digelar di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.

Simposium yang dinamai Mu'tamad (Al-multaqa al-tsanawi lil bahai an afkari al-thullab wa dirasat pisantrin) ini menghasilkan paper-paper ilmiah tentang berbagai pemikiran baru di bidang keislaman dari para panelis yang umumnya adalah tokoh dari pesantren-pesantren terkemuka di Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Paper yang paling mendapat perhatian adalah "Pesantren dan Tantangan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia" yang dibahas oleh tiga tokoh ulama. Yakni KH Masdar Farid Mas’udi sebagai Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), KH Asrorun Ni’am Sholeh sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, dan KH Rumadi Ahmad sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Sekretariat Presiden.

Kiai Asrorun mengatakan, Indonesia adalah negara Pancasila yang menjunjung tinggi kesetaraan derajat semua golongan. Maka hukum yang berlaku adalah hukum negara, bukan berdasarkan hukum Islam atau golongan lain.

"Namun selama ini pesantren telah berkontribusi dalam konsolidasi hukum nasional. Diantaranya telah membangun, menjaga, dan merawat budaya hukum Islam di Indonesia, dalam praktik living law. Dalam kaitannya dengan hukum positif, pemikiran Islam telah menyumbang khazanah keilmuan melalui literatur dan aktor-aktornya, yaitu para santri yang saat ini menjadi akademisi, politisi, birokrat, dan lain-lain," kata Kiai Asrorun dalam siaran pers, Ahad (23/10/2022).

Ia mengatakan, prinsip keislaman dalam hukum Indonesia bukan secara simbolis, akan tetapi menginternalisasi norma dan perilaku. Misalnya budaya tertib hukum, budaya bersih, budaya sehat, budaya disiplin, dan budaya integritas.

Kegiatan Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren di Jakarta pada (23/10/2022). Dok Istimewa
Kegiatan Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren di Jakarta pada (23/10/2022). Dok Istimewa

"Indonesia berpenduduk mayoritas Islam dan memiliki budaya yang tinggi nilainya, ini tidak lepas dari prinsip yang ditanamkan oleh para pendidik bangsa yang mengajari bangsa ini dengan karakter agama Islam dan budaya ketimuran. Hukum Islam dari dulu sampai sekarang sukses mendampingi masyarakat dan memecahkan banyak problematika kehidupan," jelas Kiai Asrorun.

Kiai Asrorun menerangkan, misalnya dalam perubahan sosial yang cepat, hukum-hukum Islam selalu memberi panduan ke arah yang benar dan tidak membiarkan yang besar melakukan monopoli. Terhadap munculnya masalah-masalah baru yang belum pernah ada presedennya, hukum Islam telah menjalankan fungsi ijtihad baru.

"Contohnya tentang kewajiban zakat bagi perusahaan, perluasan mas’a (tempat sa'i), perluasan mina, dan sejenisnya," ujarnya.

Sementara, KH Rumadi sebagai tokoh kiai muda yang juga duduk sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Sekretariat Presiden, mengatakan, hukum Islam di Indonesia itu efektif dan berlaku dalam masyarakat. Masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam melalui lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren.

Ia menjelaskan, Secara substantif, hukum Islam telah berada dalam lima level penerapan. Pertama tentang masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan telah diadopsi dalam hukum nasional. Kedua, urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat juga telah diresepsi dalam hukum nasional.

"Ketiga, praktik-praktik ritual keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Muslim, ataupun pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan perjudian sudah masuk pada perda-perda lokal," ujar Kiai Rumadi.

Ia menambahkan, keempat, penerapan hukum pidana Islam, terutama berkaitan dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar di Aceh. Kelima, penggunaan prinsip Islam yang monoteistik murni sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan.

"Hal ini bukan hal baru, karena pengangkatan penghulu dan para qadi di kerajaan Islam masa lalu juga telah terjadi," jelas Kiai Rumadi.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

0