Kisah Perjuangan Sunario Sastrowardoyo Membela Bangsa Palestina
Ditulis oleh Pizaro, Pengamat HI dan Pengajar HI di Universitas Al-Azhar Indonesia.
Nama Prof. Sunario Sastrowardoyo SH tidak bisa dilepaskan dari jasanya bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Sunario adalah salah satu tokoh penting perintis kemerdekaan RI yang telah berjuang sejak menjadi mahasiswa di Belanda pada tahun 1920-an bersama Mohammad Hatta, Sukiman, A Monontu, dan lain sebagainya.
Sunario lahir di Madiun pada 28 Agustus 1902. Ia merupakan putra dari Sutejo Sastrowardoyo, seorang pembantu bupati yang membawahi beberapa camat. Sedangkan salah satu adiknya, Sumarsono Sastrowardoyo, adalah kakek dari pelaku seni peran Dian Sastrowardoyo.
“Bangga dan terinspirasi sekali punya eyang seperti beliau. Perjuangan kaum muda di zaman mereka, membuat saya juga ingin meneruskannya (saat ini),” tulis Dian Sastrowardoyo pada akun instagramnya @therealdisastr, mengagumi perjuangan Sunario.
Saat menjadi mahasiswa di Belanda, Sunario tercatat sebagai anggota Perhimpunan Indonesia (PI). Tujuan PI adalah Indonesia Merdeka dengan melalui sikap non kooperatif terhadap penjajah Belanda. Dalam organisasi itu, Sunario banyak terlibat dalam upaya advokasi terhadap kemerdekaan. Ia pun turut merumuskan dan mencetuskan manifesto politik Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sejak 1 Agustus 1953 hingga 24 Juli 1955, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo. Selama menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Sunario juga menjadi Kepala Delegasi Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.
Di tengah jejak perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia, Sunario juga dikenal sebagai tokoh anti penjajahan dan sangat concern memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Dalam tulisan-tulisannya, Sunario kerap mengkritik penjajahan zionis Israel dan mengungkap apa yang terjadi di Palestina. Karena itulah, saat menjadi Menlu, kemerdekaan Palestina selalu menjadi agenda kebijakan luar negeri Indonesia.
Dalam tulisannya yang berjudul Konferensi Asia-Afrika dan Masalah Timur Tengah (1978), Sunario menegaskan pada era 1950-an dunia masih terus menyaksikan merajalelanya kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah yang menimbulkan rasa keprihatinan bangsa Indonesia dan dunia. Hal itu, kata Sunario, terjadi karena kaum Zionis Yahudi mendeklarasikan “negara Israel” pada tahun 1948 di Palestina.
Tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) itu lalu mengkritik kelompok Yahudi yang saat itu dibinasakan oleh Hitler sehingga harus melarikan diri dari Eropa. Tapi di sisi lain, terang Sunario, kelompok Zionis Yahudi ini “tanpa sedikitpun mempunyai perasaan perikemanusiaan” justru mengusir bangsa Palestina yang telah bermukim berabad-abad di kampung halamannya sehingga menimbulkan gelombang pengungsi hingga dua juta orang.
Bahkan, lanjut Sunario, Israel melakukan ekspansi wilayah yang lebih Iuas lagi yakni ke Tepi Barat, Gaza, Sinai, hingga dataran tinggi Golan.
“Karena fakta-fakta itu, maka Indonesia dari semula belum pernah bersedia untuk mengakui Israel sebagai negara. Masalah Yerusalem yang diduduki Israel itu, adalah penting pula bagi umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia,” ungkap Sunario.
Sunario juga berkiprah dalam upaya advokasi kemerdekaan Palestina saat menjabat menjadi Ketua Seksi Luar Negeri DPR RI pada tahun 1950-1953. Posisi itu setara dengan Badan Kerjasama Antar Parlemen dalam struktur DPR dewasa ini.
Dalam pidato pembukaannya dalam rapat DPR, Sunario menekankan pentingnya memecahkan masalah Timur Tengah di samping problem Indo Cina yang saat itu tengah menghangat. Upaya itu disampaikan Sunario di muka forum anggota dewan dalam rangka menghadapi rasialisme dan agresi Israel terhadap wilayah Palestina.
Spirit perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme itulah yang akhirnya mendorong terwujudnya Konferensi Asia Afrika pada 18-24 April 1955. Sunario yang saat itu menjadi Menlu RI mengatakan KAA 1955 di Bandung itu sangat besar manfaatnya untuk memupuk semangat anti penjajahan dan mewujudkan perdamaian dunia.
“Perhatian dunia terhadap konferensi Asia Afrika itu besar sekali baik secara negatif yang banyak berasal dari negara kolonial, maupun positif khususnya dari bangsa-bangsa Asia Afrika sendiri,” tulis Sunario.
Roeslan Abdulgani dalam The Bandung Connection (1980) mengatakan KAA 1955 akhirnya melahirkan rumusan yang menegaskan bahwa forum tersebut menyatakan sokongannya kepada hak-hak asasi bangsa Arab atas Palestina dan menyerukan dilaksanakannya resolusi-resolusi PBB mengenai Palestina dan menyerukan tercapainya penyelesaian damai dari masalah Palestina.
Dalam bukunya Politik Luar Negeri Jang Bebas (1951), Sunario menekankan pentingnya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dalam menjalankan politik bebas dan aktif. Indonesia tidak boleh menjadi negara yang berada di salah satu blok, baik Amerika Serikat maupun Rusia.
Menurut Sunario, politik bebas aktif bukanlah politik yang netral melainkan politik yang berdasarkan kepentingan rakyat untuk aktif memelihara perdamaian dunia. Bahkan, bagi Sunario, perdamaian dunia adalah wujud dari panggilan Pancasila dan jiwa ruhaniah bangsa Indonesia.
“Kalau kita memperhatikan benar-benar kepentingan nasional kita, bukan sadja dari sudut kebendaan, melainkan lebih-lebih lagi dari sudut kerohaniaan atau dengan tegas dari sudut filsafat negara kita Pantja Sila, nampaklah dengan djelas, bahwa tudjuan terachir itu dengan sendirinja ta’ lain ialah perdamaian dunia,” ucapnya.
Dari rekam jejaknya di atas, jasa Sunario dalam perjuangan memerdekakan Palestina tidaklah sepele. Upaya itu dilakukan semata-mata untuk menjalankan mandat UUD 1945 untuk melawan penjajahan dan mewujudkan perdamaian dunia. Maka jika Dian Sastrowardoyo terkenal dengan filmnya Ada Apa Dengan Cinta, maka Sunario tersohor dengan perjuangannya menyadarkan bangsa Indonesia dan dunia untuk sama-sama menjawab pertanyaan: Ada Apa dengan Palestina?